Responsive Banner design
Home » » Jazz Goes To Campus

Jazz Goes To Campus


Masih segar dalam ingatan saat musik jazz akrab dengan kampus. Implisit bahwa musik jazz identik dengan kaum intelektual yang notabene diwakili institusi kampus. Bahwa mahasiswa yang menyukai musik dangdut, campursari atau musik daerah dianggap kolot. Mahasiswa musiknya ya jazz, atau minimal musik barat atau ngerock. Bicara musik apa untuk siapa tentunya sah sah saja dan hak semua orang asal bukan latah-latahan. Kalau memang penikmat sejati dan mengaku sebagai jazzer tentu itu yang konsisten. Masalahnya bila hanya latah dan jaim- jaga image atau jaga gengsi, sementara tidak paham musik sama sekali lha ini yang agak muna@#* he he.

Penulis sendiri menyukai berbagai jenis musik mulai dari klenengan, campursari sampai jazz. Musik ibarat bahasa universal yang siapapun berhak untuk menikmati dan menyukai. Tidak jarang seorang sopir-pun fasih bicara jazz karena memang suka dan ngarti. Sebaliknya tidak sedikit mahasiswa yang buta musik, tahunya hanya SKS.

Kalau anda ditanya musik jazz itu apa kira-kira bagimana menggambarkan. Yup, sambil diskusi ringan, jazz sering sianggap musiknya kaum hitam, warga berkulit hitam maksudnya. Darimanakah asal usul musik jazz, apakah Amerika, Afrika, Eropa atau Tasikmalaya, he he

Dalam dictionary Nokia 5000 jazz digambarkan dekat dengan rythm, atau blues, walah apa lagi ini. Ya gitulah pokoknya. Kalau kita lihat dipanggung sebuah group jazz setidaknya ada drum, organ/piano, guitar, bass, terompet dan vocal tentunya.

Kalau sekedar penggemar jazz sih tidaklah sulit, cukup dengan mendengarkan musiknya, koleksi CD, baca-baca dikit dan jadilah kita kaum jazzer he he. Namun untuk bisa dan menguasai musik jazz inilah konon yang sulit. Gitaris jazz harus menguasai teknik guitar dan tentu irama jazz. Demikian piano, drum dan terompet-nya. Dalam permainan jazz tidak jarang semua penggawang alat seolah bermain sendiri-sendiri namun iramanya tetaplah harmonis, nyambung gitu.

Hmm tanggal 18-Oktober besok ada pagelaran Jazz UGM-Mandiri di Grha Sabha. Pagelaran jazz kampus itu diramaikan oleh Trisum, Tohpati, Dewa Budjana, Donny Suhendra, Idang Rasjidi, Glen Fredli, Rio Febrian, Rieka Roeslan dengan MC Dian Sastro Wardoyo dan Butet Kartaredjasa. Tiketnyapun terjual habis sebelum pementasan, maklum harga mahasiswa dari 20 sampai 150 ribu rupiah.

Konon agenda jazz ini menginjak tahun yang kesepuluh dan tahun depan event-nya akan dieskalasi menjadi pagelaran berskala internasional. Tentunya akan ada pemusik jazz dari luar negeri yang hadir dan main di sana.

Sebuah agenda musik sejauh dikemas dengan menarik dan cantik pada dasarnya merupakan event yang positif. Bila ditanya dari pemegang tiket jazz UGM-Mandiri, berapa banyak pernah melihat langsung unjuk panggung dari Tohpati, atau Donny Suhendra atau Dewa Budjana tentu tidaklah banyak. Paling pernah mendengar lewat TV atau radio. Dengan adanya event tersebut mereka menjadi tahu secara langsung kehebatan pemusik nasional tersebut- bermain secara life. Tambahan, mereka bisa mulai belajar dan menyenangi musik jazz menjadi jazzer sejati. Semuanya cukup dengan modal puluhan ribu rupiah.

Kita akan tunggu pagelaran jazz internasional UGM-Mandiri tahun depan. Dengan jumlah warga asing di yogya yang cukup banyak rasanya event jazz internasional memang layak digelar.

Nah kita juga bisa tanya ke UGM-Mandiri, kapan bisa menghadirkan event gamelan internasional atau jaipong internasional, karena kita tahu sudah semakin banyak warga asing belajar tari dan musik tradisional.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog