Responsive Banner design

Leadership In New Generation

Atas kebaikan seorang rekan saya diajak menghadiri seminar. Seminar yang diliput langsung oleh SCTV dengan menerjunkan presenter Alvito Deannova menghadirkan pembicara Robby Johan, Tanri Abeng dan Djokosantosa Moeljono. Tambahan seminar ini tidak dipungut biaya dan bertempat di Universitas Al Azhar Jakarta. Seminar ini juga merupakan bentuk kegiatan mahasiswa Al-azhar seiring dibangunnya auditorium baru milik Universitas tersebut, yang dinamakan Arifin Panigoro Auditorium.

Ketika saya datang seminar sudah dimulai dengan sambutan Rektor, Bapak Zuhal. Moderator Alvito usai pembukaan oleh Rektor menjelaskan dan memperkenalkan secara singkat profil dari pembicara. Robby Johan adalah professional handal yang berhasil mengangkat kembali kinerja Garuda Indonesia dan Bank Mandiri. Berkat tangan dingin Robby maka Garuda tetap eksis dan kinerjanya semakin baik. Demikian juga dengan lahirnya bank Mandiri yang merupakan gabungan sekian bank besar juga bisa terus berkibar salah satunya karena tangan dingin Robby.

Tanri Abeng tentunya tidak asing lagi karena beliau terkenal dengan julukan manajer satu milyar, CEO perusahaan besar seperti Multi Bintang dan Bakrie Group serta pernah menjabat menteri. Beliau juga dekat dan dihubungan dengan istilah transformasi yang bisa diartikan pakar dalam mentranform suatu institusi/perusahaan menjadi lebih kompetitif dan meningkat kinerjanya.

Djokosantosa juga tidak kalah bekennya dimana beliau merupakan mantan seorang CEO di BRI maupun akademisi handal yang mengajar diberbagai perguruan tinggi. BRI disebut-sebut sebagai salah satu bank nasional terbaik dan bahkan terbaik dalam skala internasional. Lebih dari 40 negara pernah datang ke BRI untuk belajar sesuatu dari bank yang terkenal dengan kredit Usaha Kecil Menengah (UKM).

Ketiga pakar tersebut memberikan sebagian ilmunya dalam bidang Leadership. Dengan segudang pengalaman ketiganya memberikan presentasi yang menarik dan lugas. Tanpa basa-basi yang pertama tampil adalah Robby Johan dan langsung menjelaskan mengenai leadership dipadu dengan pengalaman panjangnya menangani Garuda dan Mandiri. Pak Robby mengatakan bahwa kinerja BUMN sebagai pendukung ekonomi nasional semestinya dimulai dari bawah, terus meningkat dan semakin tinggi menjadi kelas internasional. Namun yang terjadi kinerja tersebut berkutat dan jalan di tempat. Sehingga kenapa jarang ada baik BUMN maupun perusahaan lainnya yang berhasil menuju kinerja berskala internasional. Hal ini erat terkait dengan kepemimpinan dalam setiap BUMN/perusahaan.

Tanri menambahkan bahwa Petronas dan Telkom adalah contoh dua perusahaan skala internasional. Awalnya Petronas belajar dari kita (Pertamina), namun sekarang mereka lebih maju kinerjanya. Telkom dengan revenue triliunan rupiah per tahun diharapkan menjadi perusahaan nasional berskala internasional. Tanri menekankan pentingnya transformasi dimana kinerja perusahaan ditransform agar semakin bernilai tambah dan kompetitif.Tanri juga sedikit menyinggung generasi sekarang sebagai lose generation karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, saking rumitnya masalah yang dihadapi bangsa ini.

Djokosantosa menutup seminar dengan mengulas pentingnya value (nilai-nilai) seorang pemimpin. Value haruslah menjadi budaya dari seorang pemimpin. Budaya tradisional jawa seperti Gadjah Mada, Ki Hajar Dewantoro serta Mangkunegoro mengajarkan nilai-nilai tinggi yang bisa diambil manfaatnya. Djoko juga menggambarkan kepemimpinan Samurai Jepang yang umurnya ribuan tahun namun tetap mengandung nilai-nilai tinggi yang turut berperan sebagai pondasi kemajuan ekonomi Jepang modern saat ini.

Kijang Visit

Awalnya kita hobby mailing list otomotif dan bikin milist kijang tahun 2001-an. Karena milist baru wah pada getol-getolnya diskusi apa saja seputar mobil kesayangan yang dijuluki mobil sejuta umat. Karena tahun 1997-an kalau tidak salah konon berhasil terakumulasi produk kijang sebanyak 1 juta unit. Sampai sekarang tentunya lebih dari sejuta kijang ada dan beredar di tanah air. Anggota milist beragam dari mahasiswa, orang kantoran, pengusaha maupun profesi lainnya. Bahkan yang mobilnya bukan kijang juga banyak yang ikut. Namanya juga hobby maka klop lah nggak pandang perbedaan ini itu yang penting diskusi dan kadang diseling ngumpul bareng di Senayan.

Saking ramainya milist dan lahirnya ide dari anggota maka dijajagi untuk merangkul pabrikan apakah anggota boleh mengunjungi pabriknya. Sekitar tahun 2002-an waktu itu datang tanggapan dari pihak Toyota Astra Motor (TAM) yang membolehkan kita mengunjungi pabriknya di Sunter. Wah hebat nih akhirnya datang kesempatan langka mengunjungi pabrikan mobil terbesar tanah air tersebut.

Guna menyambut baik niat pabrikan tadi, kita grup/anggota milist kijang yang beken dengan nama TKCC – Toyota Kijang Cyber Community menyiapkan segala sesuatunya termasuk kaos seragam, agar nantinya lebih formil pada saat kunjungan. Bertempat di salah satu cabang Auto 2000 (tanah abang?) kita ngumpul disitu. Wah pihak pabrikan begitu baik dengan menyediakan bus lengkap dan tim yang akan membawa kita. Akhirnya setelah ngobrol di auto 2000 tersebut- dimana mobil anggota diparkir disitu- dan tidak lupa diskusi mobil Toyota yang dipajang di situ- kita naik bus menuju Sunter ditemani tim dari Toyota Astra Motor (TAM)- hmm asyik banget deh.

Sampai di pabrik TAM sunter kita-kita langsung disambut seorang manajer dari corporate dan dilakukan briefing. Usai briefing kita ditemani staf dari produksi mulai melakukan “inspeksi” perakitan mobil paling popular tersebut. Hmmm pabriknya sudah menggunakan robot meski tenaga manusia juga masih banyak digunakan. Sebenarnya ada tiga bagian besar dari proses pembuatan mobil, namun karena keterbatasan waktu kita hanya berkesempatan keliling bagian assembly saja. Mula-mula ban berjalan dengan operator di kanan kiri melakukan proses perakitan parts ke bodi. Jadi bodi kijang ini yang berasal dari stamping plat dibentuk dan masuk ban berjalan. Bodinya mengalami pemrosesan seperti pembuatan lubang mur, pelapisan anti karat serta pengecatan. Dan bila sudah rapi maka tinggal dipasang peredam, jok, plafond juga mesin, roda serta parts lainnya sampai keluar finishing dalam keadaan menjadi mobil yang siap jalan. Hmmm lumayan canggih dan elapse time-nya untuk 1 kijang sekitar (wah agak lupa) yang jelas beberapa menit saja keluar satu kijang baru di ujung ban berjalan assembly ini.

Menurut pendamping kita, proses pembuatan kijang tergolong “biasa”, dan bila ingin melihat yang lebih hebat lagi ada pabrik Toyota di Kerawang yang merakit sedan semacam Altis maupun Camry. Nah berhubung sedan jelas lebih canggih dengan bodi monokoknya maka pastilah proses perakitannya jauh lebih rumit dan konon semuanya oleh robot.

Usai berbentuk mobil segelondong masih harus diproses lagi yakni test hujan dimana sudah tersedia ruangan yang bisa menyemburkan air dari segala arah. Test ini untuk menguji apakah mobil sudah sempurna dan tidak ada air yang menerobos masuk bila melewati hujan atau banjir. Sementara mobil juga ditest di ruangan yang ada alat berjalan di bawah ban, jadi bannya muter kencang sampai missal 90 km per jam, mobilnya tetap ditempat karena yang muter adalah jalan di bawah ban. Pokoknya asyik habis bisa berkesempatan melihat perakitan mobil kijang. Entah kapan kita akan dapat kesempatan melihat perakitan pabrik Toyota yang di Kerawang ? Mimpii kali ye,,,,

Usai melihat bagaimana sebuah mobil dibuat kembali kita briefing dan dilakukan tanya jawab, mana-mana yang belum jelas. Misinya adalah agar kita-kita bisa menjelaskan ke penggemar otomotif (ceilee GR) bahwa proses pembuatan dilakukan dengan canggih dan presisi tinggi guna menghasilkan produk bermutu tinggi. Dan ini benar belaka, kenapa ? karena kijang diakui memiliki kualitas yang handal dan menjadi mobil favorit nasional.

Kebaikan Toyota masih berlanjut karena kita semua ditraktir makan siang di Kelapa Gading dan diberi souvenir paying bertuliskan kijang. Hmm terima kasih Toyota atas semua kebaikannya. Sebenarnya banyak yang dilihat pada saat itu (tahun 2002) namun banyak terlupa karena baru diceritakan ulang sekarang (4 tahun lampau).

Underestimate

Seorang eksekutif perusahaan kedatangan tamu di ruangannya yang megah nan luas. Sang tamu terlihat sederhana, lugu, tanpa dasi, sepatu tidak mengkilap serta bersikap kalem. Sang eksekutif mengernyitkan dahi, muka agak mendongak dan mengerling tamunya. Seingatnya dia mengundang konsultan beken untuk membantu dan memberikan masukan atas berbagai masalah perusahaan. Dengan sopan sang tamu memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa ia adalah staf dari konsultan yang diundang serta menanyakan kapan bisa mulai saling presentasi. Masih dengan wajah muram sang eksekutif sedikit malas memulai agenda hari itu, dengan gaya elegan dan tekanan suara layaknya petinggi perusahaan, eksekutif mulai membuka presentasinya. Beragam table, grafik, data yang tentu saja disusun oleh bawahannya ditampilkan. Semuanya berjalan biasa saja. Giliran konsultan yang melakukan presentasi, dengan bahasa tertata rapi, presentasi yang padat namun sistematis, dipadu wawasan dan pengetahuan yang hebat serta berbagai rekomendasi dan alternatif solusi atas masalah perusahaan, perlahan terhapus keraguan sang eksekutif dan berubahlah cara melihat tamunya yang “sederhana” namun menyimpan bobot pemikiran yang tinggi.

Meremehkan, itulah kata yang menggambarkan betapa cara pandang, penilaian, subyektifitas maupun anggapan seseorang atas lainnya. Sudah jamak berlaku di masyarakat kita bahwa penampilan fisik, cara berpakaian, desain pakaian, sepatu mahal, parfum, dasi maupun atribut fisik lainnya kadang mendominasi penilaian. Tidak jarang hal ini banyak menimpa diantara kita. Bila kebetulan kita bertemu entah itu pejabat tinggi, CEO perusahaan besar, BUMN atau golongan the haves lainnya, kita kadang merasa risih dengan lirikan mereka ke sepatu kita, ke pakaian kita yang memang sederhana dan apa adanya. Celakanya lagi penilaian ini kadang merembet ke lainnya—hmm dengan tampilan seperti itu paling dia hanya staf yang tidak tahu apa-apa, dan seterusnya.

Konon budaya kita adalah budaya agung yang ramah, tamah, sopan, suka membantu, menghargai, kekeluargaan dan seabreg budaya mulia lainnya. Namun kadang kita juga menjadi bangsa yang suka mencampuri urusan orang lain, meremehkan, suka bergunjing, suka memandang rendah dan sebagainya. Generasi muda kita barangkali menyebutnya, munafik—katanya sopan nan ramah kok juga suka memandang rendah orang lain.

Meremehkan bisa jadi merupakan sifat alamiah setiap orang, sebagaimana sifat rendah hati, sombong, pamer maupun sifat bawaan lainnya. Setiap orang juga tentunya tidak akan terlepas dari sifat-sifat bawaan tersebut. Namun barangkali kita bisa mengatur dan menampilkan sifat sifat tersebut secara arif. Pada konteks di atas dimana seorang eksekutif perusahaan yang sukses dan berhasil mencapai tingkat pencapaian materi yang tinggi, meremehkan bisa jadi alamiah sejauh segera dikoreksi dan perlahan dihilangkan. Namanya juga orang sukses dengan segala hal yang dimiliki wajar toh melihat secara remeh kepada orang berpakaian sederhana yang alim —pada kesempatan pertama.

Kadang-pun meremehkan tidaklah semata buruk. Misalnya dalam pertandingan olahraga atletik lari sprint Olimpiade, olahragawan dari negara anu guna mendorong semangat kemenangan, memandang lawan lainnya remeh—ah sayalah yang tercepat dan mereka semua ngga ada apa-apanya buat saya. Namun secara umum bahwa sifat meremehkan memang kurang baik karena terbiasa meremehkan akan segera diikuti sifat sombong kita, sifat merasa diri lebih segalanya dan hal ini mendorong kita tidak bijak. Sifat-sifat yang kita miliki kadang bakal menampilkan dan menggambarkan kita seperti apa. We are what our characters do. Jagalah dan kendalikan segala sifat-sifat tersebut secara bijak dan pandanglah manusia lainnya semulia kita juga, dan janganlah attribut fisik mengaburkan penilaian kita.
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog