Responsive Banner design
Home » » Demokrasi dan Perkapita

Demokrasi dan Perkapita



Profesor Budiono dalam pengukuhan guru besarnya di kampus UGM Yogyakarta menegaskan bahwa terdapat kaitan erat antara pendapatan perkapita/tingkat kemakmuran dengan jalannya demokrasi nasional.

Agar demokrasi berjalan lancar dalam jangka panjang dibutuhkan pendapatan perkapita yang diukur dari Purchasing Power Parity (P3) sebesar $6000. Saat ini perkapita kita baru berkisar $1300 atau setara dengan P3 sebesar $4000, karena asumsi harga barang dan jasa kita lebih murah ketimbang harga di negara ber-currency dollar. Untuk menuju angka $6000 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% selama 9 tahun berturut-turut.



Masalahnya pertumbuhan ekonomi kita masih di bawah 7% ditambah angka pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pencapaian perkapita yang mendukung berjalannya demokrasi jangka panjang, tidaklah mudah.

Barangkali kenapa kehidupan demokrasi kita masih belum lancar dan kadang tersendat. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof Budiono bahwa syaratnya harus dipenuhi terlebih dahulu yakni tingkat kemakmuran kita haruslah mencapai $6000 dan ini perlu pertumbuhan ekonomi tinggi serta konsisten.

Investasi bisa jadi kata kunci-nya. Sudah tercapaikah target penanaman modal atau investasi yang kita canangkan. Hal ini nampaknya belum tercapai, kenapa karena birokrasi dan kondisi dunia usaha kita kurang menjanjikan bagi investor.

Memang terdapat pasar cukup besar karena jumlah penduduk kita yang lebih dari 200 juta. Mungkin juga sumber tenaga kerja murah bisa ditawarkan di sini. Namun bagaimana dengan birokrasi yang dari dulu bak benang ruwet, juga kepastian hukum bila timbul dispute atau jaminan keamanan bagi investor dan asetnya. Belum lupa kerusuhan sosial tahun 1998 cukup membekas dan jelas diingat oleh dunia internasional.

Memang dunia politik kita tidak mudah dilepaskan terhadap dunia ekonomi nasional. Ada seorang executive di sebuah perusahaan internasional, katakanlah level General Manager. Hmm sebuah jabatan yang cukup tinggi dan jangan dikata paket kompensasi dan benefit yang diterima. Apa yang terjadi ternyata sang executive lebih memilih menjadi politisi ketimbang jajaran manajemen perusahaan bonafid tersebut.

Alasannya adalah sehebat apapun kiprah seorang ekonom dalam dunia usaha masih kalah superior ketimbang seorang politisi, demikian mindset yang dimilikinya.

Masalahnya lagi politisi kita seringnya berangkat dari ketidakmampuan secara ekonomi, berpetualang dalam politik guna meraih penghidupan yang labih baik. Berbeda dengan politisi di Negara maju, atau yang level demokrasinya tinggi, bahwa politisi adalah mereka yang awalnya sudah mapan secara ekonomi. Jadi konsepnya berpolitik bukanlah semata untuk nafkah dan mencari makan namun lebih misi dan tanggung jawab social guna perbaikan kehidupan rakyat banyak.

Tidak aneh dalam dunia per-politikan kita terdapat banyak sekali partai yang terdiri dari orang-orang tidak mapan ekonominya.

Akibatnya misi merekapun bias dan alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat luas bahkan sibuk dengan perutnya masing-masing.

Prof Budiono begitu jeli dan pengalaman puluhan tahunnya menetaskan sebuah konsep jitu bahwa jadikanlah masyarakat kita sejahtera hidupnya. Dengan hidup sejahtera maka demokrasi baru akan bisa berjalan secara alamiah. Demokrasi yang sebenarnya adalah modal menjalankan kiprah politik. Karena politik erat dengan kekuasaan dan kekuatan maka landasan demokrasi yang jujur akan menjamin politisi pada jalurnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog