Responsive Banner design
Home » » Rakyat Kecil Menjerit

Rakyat Kecil Menjerit

Entah bagaimana rakyat kecil mesti menjerit. Bagaimana tidak menjerit bila harga beras terbang ke harga 7500 rupiah per liter. Beras yang dulu 4000 rupiah sudah dapat beras “mewah” sekarang harganya melejit dan harga tersebut dapat beras yang ada hitam-hitamnya. Entah kepada siapa mesti menjerit rakyat kecil yang antre beras dan pulang dengan tangan hampa karena operasi pasar diborong oleh pedagang. Hmm inilah fakta bahwa ternyata rakyat kita kadang kurang empati pada penderitaan sesame. Jelas operasi pasar dimaksudkan untuk meredam terbangnya harga beras karena supply-nya terbatas ee diserobot pula oleh pedagang. Mana operasi pasar mesti ada pembelian minimum yang 20 literlah atau 10 literlah. Ya tentu saja pedagang akan menang karena berduit dan niatnya untuk dijual lagi. Entah harus bagaimana menjerit rakyat kecil antre beras dengan uang 20 ribu di sakunya. Pulanglah ia dengan tangan hampa.

Bagaimana harus menjerit ketika gelombang tsunami menghajar daerah Aceh. Bagaimana rakyat yang asetnya hanya rumah sederhana dan sedikit perabot habis tersapu gelombang nan ganas. Kita dengar masih banyak rakyat yang rumahnya belum dibangun karena banyak hal. Entah terbatasnya dana atau penanganan yang cenderung lamban, yang jelas masih banyak rakyat korban tsunami menderita.

Bagaimana menjerit rakyat korban gempa Yogya. Ribuan rumah luluh lantak oleh gempa bumi dan masih banyak rumah roboh belum berdiri lagi. Ribuan rakyat korban gempa menderita dan butuh uluran tangan, namun bantuan belum semuanya merata. Yang jelas masih terlampau banyak rakyat butuh bantuan.

Bagaimana menjerit warga Jakarta dan sekitarnya diterpa banjir besar dimana 80% area tenggelam banjir. Aset sebagian rakyat yang relative kecil berupa rumah petak barangkali hilang terbawa arus air. Masih ribuan rakyat korban banjir membutuhkan uluran bantuan.

Kita tahu belaka betapa jeritan demi jeritan keluar dari tenggorokan rakyat nan lapar. Mereka tidak berdaya dan sungguh butuh bantuan apa daya tak kunjung datang. Salahkah mereka menjadi rakyat kecil. Apakah ini pilihan mereka menjadi bagian dari Negara yang konon gemah ripah namun saat ini hutangnya menggunung.

Kepada siapa lagi rakyat kecil mesti menjerit dan meratap. Apakah setelah berbagai bencana alam dan meninggalkan ribuan rakyat menderita lantas semuanya terlupakan. Apakah kita sekarang merasa segalanya sudah seperti sediakala dan tidak ada masalah lagi. Lantas harus bagaimana jeritan ribuan rakyat kecil di tempat terpencil jauh dari penguasa.

Apakah bathin dan moral kita tidak tersentuh betapa ribuan dan jutaan rakyat sebenarnya hidup senin kamis. Jangankan bisa makan kenyang, makan sekali sehari-pun terlampau banyak yang tidak mampu. Kenapa tidak mampu apakah mereka malas, TIDAK, mereka adalah korban pembangunan. Lho kok pembangunan justru melahirkan korban, iya karena pembangunan yang tidak merata dan tidak menyentuh rakyat kecil.

Kiranya apakah yang sudah dibangun guna memfasilitasi hidup dan penghidupan mereka. Oke mudahkah mereka mencari kerja, SULIT sekali. Bahkan buat sekolah saja banyak yang sudah tidak mampu bayar uang pangkal.

Ketuklah pintu hati kita semua dan bukalah mata bathin akan begitu banyak penderitaan rakyat kecil. Mereka saat ini menjerit perih. Jerit yang tidak pernah bersuara dan apalagi terdengar. Dengarkan dengan mata bathin.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog