Ada kekeliruan perhitungan pada artikel di bawah. Yakni antara pendapatan per kapita yang 3600 dollar versus kriteria orang miskin yang 575 ribu rupiah per bulan. Namun terlepas dari itu pada dasarnya bahwa gap per kapita kita sedemikian lebar dan hal ini sebaiknya menjadikan fokus perbaikan pembangunan kita. Bukan hanya pertumbuhan belaka yang perlu dikejar namun faktor pemerataan juga harus diperhatikan. Idealnya bagaimana pemerataan segera dikoreksi dengan menambah peluang kerja, keadilan akses atas asset nasional dan koreksi penguasaan asset oleh sekelompok orang atau golongan. Kontrol dan peran Negara seyogyanya diperbesar dan prioritas sebesar-besarnya bagi rakyat atas pekerjaan dan pendapatan yang layak mendesak untuk diwujudkan.
Per Kapita
Unknown
22.08
No comments
Dari salah satu sumber, kita melihat bahwa pendapatan perkapita kita sekitar 3600 dollar per tahun. Maka bila kita kalikan dengan jumlah penduduk yang jumlahnya 250 juta akan terkumpul jumlah nominal sebesar 900 milyar dollar atau setara dengan 9,100 triliun-an rupiah. Bayangkan dengan jumlah penduduk kita sebesar itu maka terhimpun suatu jumlah agregat sebesar lebih dari sembilan ribu triliun. Satu triliun saja kita belum pernah melihat banyaknya apalagi ini ribuan triliun. Ya tentunya jumlah itu bukan total berupa uang namun memang seluruh produk baik barang maupun jasa nasional kita yang umumnya dikenal dengan istilah Produk Domestik Bruto. Kita tidak hendak membahas hal ini secara rinci dan akurat sekali sebagaimana kuliah di fakultas ekonomi namun lebih secara garis besar dan secara santai.
Bila kita melihat bentuk usaha di negara kita dikenal semisal perorangan, CV/PT, BUMN maupun asing. Semua produk katakanlah sebagai perorangan kita menjual jasa kita sebagai karyawan, atau kita punya sambilan mengkreditkan baju yang artinya kita juga menjual produk. Hal yang sama juga berlaku bagi bentuk usaha CV atau PT, bahkan usaha modal asing maupun BUMN-pun sama pada dasarnya menghasilkan baik produk jasa maupun barang atau keduanya. Nah dalam bentuk produk baik barang atau jasa yang ditransaksikan tersebut akan muncul pula berbagai pajak. Akrab dikenal pula yang namanya value added atau nilai tambah guna penghitungan produk dasar menjadi produk jadi serta menghindari penghitungan berulang barang yang sama.
Konon dari seluruh jumlah produk barang dan jasa tersebut munculah jumlah keseluruhan dalam nominal, sehingga muncul jumlah sembilan ribu-an triliun tadi. Jumlah ini merupakan keseluruhan barang dan jasa nasional. Bila jumlah ini dibagi dengan jumlah penduduk kita maka keluar angka pendapatan per kapita. Makin besar pendapatan per kapita suatu negara maka semakin besar pula jumlah produk Negara tersebut. Secara umum makin besar perkapita maka semakin makmur negara tersebut. Misal-nya Luxemburg per-kapitanya mencapai 66 ribu per tahun tentunya penduduknya sedemikian makmur. Amerika dengan pendapatan perkapita mencapai 41 ribu dollar per tahun, atau Jepang dengan sekitar 31 ribu dollar, Singapore dengan 28 ribu, atau Malaysia dengan 12 ribu dan seterusnya menggambarkan proporsi kemakmuran masing-masing.
Kembali pada kasus kita, kalau rata-rata pendapatan kita adalah 3600 dollar atau setara dengan lebih dari tiga puluh dua juta rupiah per tahun maka kita bisa berhitung sendiri dimana posisi kita. Bila gaji kita sejuta per bulan (empat juta bila anggota keluarga kita empat orang) serta ditambah THR dan uang cuti -- jika ada -- artinya kita menikmati 56 juta per tahun, dan ini kita artinya berada di atas rata-rata kemakmuran. Atau singkatnya bila kita balik saja, bahwa bila sebuah keluarga total pendapatan per tahun sekitar 32 juta maka mereka berada pada rata-rata pendapatan.
Kita teruskan menarik angka-angka tadi, misalkan dari sumber di BPS yang mengatakan bila seseorang berpendapatan kurang dari 175 ribu ditambah sekitar 400 ribu rupiah (hitungannya bisa kita cari tahu ke BPS), jadi totalnya 575 ribu rupiah per-orang maka akan digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam konteks tadi bila sekeluarga terdiri dari empat orang maka kita mendapat jumlah sama yakni 32 juta per tahun. Jadi dari hitung-hitungan kasar tadi kok ketemu ya, antara kriteria keluarga miskin kita versus rata-rata perkapita. Artinya bahwa secara umum dengan per kapita 3600 dollar, kita ini pada dasarnya masih termasuk kategori negara miskin. Padahal kita tahu belaka bahwa orang atau keluarga yang memiliki pendapatan 32 juta per tahun ini-pun sudah relatif jarang. Hampir dikatakan bahwa sebagain besar mereka berpendapatan di bawah angka tadi.
Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa hanya sekelompok kecil dari kita yang berpendapatan luar biasa besar sehingga sebaran katakanlah di atas 80% penduduk berpendapatan di bawah 32 juta rupiah per tahun terdongkrak oleh pendapatan luar biasa besar sekelompok kecil tadi. Konon lagi ada angka begini -- bahwa kurang dari 10% penduduk kita menguasai asset lebih dari 90% asset nasional. Terjadi gap sedemikian lebar luar biasa yang mencerminkan bahwa hasil-hasil pembangunan sangat belum merata dan baru dinikmati hanya oleh sekelompok kecil penduduk kita.
Bila kita melihat bentuk usaha di negara kita dikenal semisal perorangan, CV/PT, BUMN maupun asing. Semua produk katakanlah sebagai perorangan kita menjual jasa kita sebagai karyawan, atau kita punya sambilan mengkreditkan baju yang artinya kita juga menjual produk. Hal yang sama juga berlaku bagi bentuk usaha CV atau PT, bahkan usaha modal asing maupun BUMN-pun sama pada dasarnya menghasilkan baik produk jasa maupun barang atau keduanya. Nah dalam bentuk produk baik barang atau jasa yang ditransaksikan tersebut akan muncul pula berbagai pajak. Akrab dikenal pula yang namanya value added atau nilai tambah guna penghitungan produk dasar menjadi produk jadi serta menghindari penghitungan berulang barang yang sama.
Konon dari seluruh jumlah produk barang dan jasa tersebut munculah jumlah keseluruhan dalam nominal, sehingga muncul jumlah sembilan ribu-an triliun tadi. Jumlah ini merupakan keseluruhan barang dan jasa nasional. Bila jumlah ini dibagi dengan jumlah penduduk kita maka keluar angka pendapatan per kapita. Makin besar pendapatan per kapita suatu negara maka semakin besar pula jumlah produk Negara tersebut. Secara umum makin besar perkapita maka semakin makmur negara tersebut. Misal-nya Luxemburg per-kapitanya mencapai 66 ribu per tahun tentunya penduduknya sedemikian makmur. Amerika dengan pendapatan perkapita mencapai 41 ribu dollar per tahun, atau Jepang dengan sekitar 31 ribu dollar, Singapore dengan 28 ribu, atau Malaysia dengan 12 ribu dan seterusnya menggambarkan proporsi kemakmuran masing-masing.
Kembali pada kasus kita, kalau rata-rata pendapatan kita adalah 3600 dollar atau setara dengan lebih dari tiga puluh dua juta rupiah per tahun maka kita bisa berhitung sendiri dimana posisi kita. Bila gaji kita sejuta per bulan (empat juta bila anggota keluarga kita empat orang) serta ditambah THR dan uang cuti -- jika ada -- artinya kita menikmati 56 juta per tahun, dan ini kita artinya berada di atas rata-rata kemakmuran. Atau singkatnya bila kita balik saja, bahwa bila sebuah keluarga total pendapatan per tahun sekitar 32 juta maka mereka berada pada rata-rata pendapatan.
Kita teruskan menarik angka-angka tadi, misalkan dari sumber di BPS yang mengatakan bila seseorang berpendapatan kurang dari 175 ribu ditambah sekitar 400 ribu rupiah (hitungannya bisa kita cari tahu ke BPS), jadi totalnya 575 ribu rupiah per-orang maka akan digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam konteks tadi bila sekeluarga terdiri dari empat orang maka kita mendapat jumlah sama yakni 32 juta per tahun. Jadi dari hitung-hitungan kasar tadi kok ketemu ya, antara kriteria keluarga miskin kita versus rata-rata perkapita. Artinya bahwa secara umum dengan per kapita 3600 dollar, kita ini pada dasarnya masih termasuk kategori negara miskin. Padahal kita tahu belaka bahwa orang atau keluarga yang memiliki pendapatan 32 juta per tahun ini-pun sudah relatif jarang. Hampir dikatakan bahwa sebagain besar mereka berpendapatan di bawah angka tadi.
Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa hanya sekelompok kecil dari kita yang berpendapatan luar biasa besar sehingga sebaran katakanlah di atas 80% penduduk berpendapatan di bawah 32 juta rupiah per tahun terdongkrak oleh pendapatan luar biasa besar sekelompok kecil tadi. Konon lagi ada angka begini -- bahwa kurang dari 10% penduduk kita menguasai asset lebih dari 90% asset nasional. Terjadi gap sedemikian lebar luar biasa yang mencerminkan bahwa hasil-hasil pembangunan sangat belum merata dan baru dinikmati hanya oleh sekelompok kecil penduduk kita.
Magic World
Unknown
21.32
No comments
Seorang trainer property mengatakan bahwa magic world akan membantu pemasar maraih target pelanggan yang diinginkan. Sebagai ganti menyebut produk property baik rumah, apartemen maupun property lainnya bisa digunakan magic wolrd semisal “program”. Jadi seorang pemasar bisa mengatakan kepada calon pembeli misalnya, kami memiliki program hunian yang aman, nyaman dan terlengkap fasilitasnya. Dengan uraian program hunian maka calon pembeli digiring mengubah mindset bahwa apa yang dibicarakan tidak sekedar rumah namun juga lingkungan dan fasilitasnya. Magic wolrd program juga dapat terus dikembangkan sesuai minat dan ketertarikan dari pembeli. Bila pembeli adalah seorang pemeluk agama taat, maka bisa ditambahkan bahwa program hunian juga bernuansa religi dan memberikan seluasnya fasilitas yang nyaman dalam beribadah.
Berikutnya mengenai bahasan harga atau seputar uang yang akan dibayarkan pembeli pada saat setuju membeli. Sebaiknya tidak digunakan istilah uang atau pembayaran namun bisa digunakan kalimat “investasi yang bapak/ibu tanamkan kami jamin akan aman dan terus berkembang”. Di sini calon pembeli diarahkan tidak sekedar mengeluarkan sejumlah uang guna membeli rumah dan that’s it, namun lebih sebagai langkah investasi dimana terkandung pengertian nilai dari property yang dibeli tidak akan hilang.
Banyak pembeli property yang akhirnya kecewa manakala proses transaksi selesai dan mulai menempati rumah/apartemen/ruko-nya namun keluhannya jarang ditanggapi secara memuaskan. Di sini selain memang dibutuhkan bukti dan komitmen yang kuat, magic world dapat juga digunakan misalnya, “kami selalu menjamin bahwa investasi dari bapak/ibu akan kita jaga komitmen-nya secara berkelanjutan”. “Meskipun nantinya bapak/ibu sudah selesai transaksi namun komitmen kami akan tetap serta menjamin kepuasan seluruh pelanggan kami”.
Magic world sangat sering digunakan tidak hanya dalam proses pemasaran rutin sehari-hari namun juga dalam slogan suatu produk. Pada produk otomotif sering kita dengar misalnya kijang memang tiada duanya, atau belakangan menjadi kijang adalah kesempurnaan setiap keluarga. Dalam perbankan akrab kita dengar slogan, kami memahami kebutuhan anda, atau produk kami adalah media kenyamanan anda dan seterusnya.
Pada dasarnya sebagi orang timur factor empati dan ingin dihargai begitu kental terpatri dalam benak setiap orang, sehingga dengan menggali-nya tidak mustahil akan dapat meyakinkan calon pembeli yang kita targetkan. Kata-kata, pujian tulus dan kemahiran menyusun kalimat akan dapat membantu seorang penjual/pemasar menuju momen traksaksi. Karena pada dasarnya menjual tidak sekedar produk kita laku, namun lebih merupakan pemenuhan kebutuhan pelanggan termasuk dinamikanya. Jadi focusnya bukan sekedar kita menjual namun bagaimana memenuhi kebutuhan pembeli, sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan harus dimulai dan prioritas dari sisi dan kepentingan pembeli.
Berikutnya mengenai bahasan harga atau seputar uang yang akan dibayarkan pembeli pada saat setuju membeli. Sebaiknya tidak digunakan istilah uang atau pembayaran namun bisa digunakan kalimat “investasi yang bapak/ibu tanamkan kami jamin akan aman dan terus berkembang”. Di sini calon pembeli diarahkan tidak sekedar mengeluarkan sejumlah uang guna membeli rumah dan that’s it, namun lebih sebagai langkah investasi dimana terkandung pengertian nilai dari property yang dibeli tidak akan hilang.
Banyak pembeli property yang akhirnya kecewa manakala proses transaksi selesai dan mulai menempati rumah/apartemen/ruko-nya namun keluhannya jarang ditanggapi secara memuaskan. Di sini selain memang dibutuhkan bukti dan komitmen yang kuat, magic world dapat juga digunakan misalnya, “kami selalu menjamin bahwa investasi dari bapak/ibu akan kita jaga komitmen-nya secara berkelanjutan”. “Meskipun nantinya bapak/ibu sudah selesai transaksi namun komitmen kami akan tetap serta menjamin kepuasan seluruh pelanggan kami”.
Magic world sangat sering digunakan tidak hanya dalam proses pemasaran rutin sehari-hari namun juga dalam slogan suatu produk. Pada produk otomotif sering kita dengar misalnya kijang memang tiada duanya, atau belakangan menjadi kijang adalah kesempurnaan setiap keluarga. Dalam perbankan akrab kita dengar slogan, kami memahami kebutuhan anda, atau produk kami adalah media kenyamanan anda dan seterusnya.
Pada dasarnya sebagi orang timur factor empati dan ingin dihargai begitu kental terpatri dalam benak setiap orang, sehingga dengan menggali-nya tidak mustahil akan dapat meyakinkan calon pembeli yang kita targetkan. Kata-kata, pujian tulus dan kemahiran menyusun kalimat akan dapat membantu seorang penjual/pemasar menuju momen traksaksi. Karena pada dasarnya menjual tidak sekedar produk kita laku, namun lebih merupakan pemenuhan kebutuhan pelanggan termasuk dinamikanya. Jadi focusnya bukan sekedar kita menjual namun bagaimana memenuhi kebutuhan pembeli, sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan harus dimulai dan prioritas dari sisi dan kepentingan pembeli.
MRT
Unknown
19.27
No comments
Atas kebaikan perusahaan, saya dan beberapa rekan lainnya berkesempatan mengunjungi sebuah pabrik di Singapura. Factory visit ini dilakukan menyusul kerjasama instalasi suatu produk safety di perusahaan. Setelah memperpanjang passport dan menyiapkan segala sesuatunya kami segera terbang dari Cengkareng ke Changi. Kunjungan yang singkat yakni 3 hari tentunya tidaklah cukup menyerap dan melihat negara kota tersebut.
Meskipun sebuah negara kecil yang bahkan akrab disebut dengan negara kota, terlampau banyak yang bisa dipelajari dan dicontoh dari sana. Pertama kita akan terkesima begitu meninggalkan bandara Cengkareng kita yang terkesan bangunannya kelam, proses boarding lama, kenyamanan hmm biasa saja sontak akan langsung berubah manakala menginjakkan kaki ke Changi. Bandara Spore tersebut, meski ini kali kedua saya datang, begitu nyaman, canggih dengan proses check ini dan boarding yang cepat serta begitu luas. Bersih dimana-mana, staf bandara nan professional serta kita akan nyaman berkeliling ke sudut manapun. Brosur pariwisata melimpah dan gratis, bisa minum gratis dengan air minum di berbagai sudut. Itulah bandara yang konon termasuk salah satu yang terbaik di dunia, termasuk jajaran penerbangan mereka -- Spore Airlines yang beberapa kali kabarnya menyabet gelar penerbangan terbaik dunia.
Hal yang menyita perhatian lainnya adalah mass rapid transport terpadu nan canggih. MRT ini umumnya berupa kereta bawah tanah yang menjangkau hampir semua bagian Negara dari ujung- ke ujung. Dari obrolan dengan warga setempat diketahui bahwa MRT ini sudah beroperasi hampir sepuluh tahun terakhir. Kita begitu dimanjakan dengan adanya MRT ini yang berbiaya murah nan cepat. Keberangkatan kereta hanya dalam hitungan 2 atau 3 menit dimana kita juga dapat berpindah jalur lainnya. Stasiun bawah tanah ini lagi-lagi begitu nyaman, luas dan bersih.
Yang muncul dalam benak kita barangkali siapakah yang merancang MRT terpadu nan canngih ini, kapan dan biayanya berapa besar. Konon saya dengar mantan PM Lee Kuan Yew adalah tokoh dibalik keberhasilan Spore menjadi kota dengan infrastruktur terbaik. PM Lee adalah tokoh pemerintahan, legenda hidup juga seorang alumni dari Harvard University yang disebut sebagai arsitek pembangunan Spore.
MRT bukan satu-satunya urat transportasi, di atas tanah terbentang jalan mulus nan luas dan tersedia berjibun sarana yakni busway maupun private taxi Mercy atau Toyota yang kesemuanya beroperasi dengan lancer, cepat dan jarang mengalami kemacetan jalan. Konon lagi, masayarakat tidak perlu membeli mobil yang pajaknya mahal karena transportasi sudah sedemikian nyaman, cepat dan murah. Dari obrolan dengan seorang sopir private taxi saya dengar bahwa dari ujung barat ke timur jaraknya sekitar 50 km sementara dari utara ke selatan sekitar 40 km-an dan dapat ditempuh rata-rata 40 menit. Ini jarak tempuh di atas jalan, sementara jarak tempuh MRT bawah tanahnya bisa lebih cepat lagi.
Hmm kebersihan baik, ketertiban pejalan kaki bagus ditunjang trotoar nan luas dan juga camera surveillance dimana-mana cukup menjamin keamanan warga setempat. Jarang ditemukan adanya polisi berkeliaran karena berbagai kegiatan warga berjalan tertib dan rapi. Konon bila diketahui kamera atau petugas baik meludah sembarangan, membuang sampah atau menyalakan korek gas akan didenda sekitar 500 sampai 1000 dollar. Hmm memang hukum harus ditegakkan bila menghendaki masyarakat tertib.
Kita setidaknya bisa bercermin dan melihat beginilah potret keteraturan dan keharmonisan masyarakat sebagai warga yang harus dilayani kebutuhan fasilitas umumnya. Sementara di pihak lain pemerintah mengatur sungguh-sungguh, mengelola pajak dengan benar—mengembalikan manfaatnya kepada wajib pajak serta mengutamakan kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
Meskipun sebuah negara kecil yang bahkan akrab disebut dengan negara kota, terlampau banyak yang bisa dipelajari dan dicontoh dari sana. Pertama kita akan terkesima begitu meninggalkan bandara Cengkareng kita yang terkesan bangunannya kelam, proses boarding lama, kenyamanan hmm biasa saja sontak akan langsung berubah manakala menginjakkan kaki ke Changi. Bandara Spore tersebut, meski ini kali kedua saya datang, begitu nyaman, canggih dengan proses check ini dan boarding yang cepat serta begitu luas. Bersih dimana-mana, staf bandara nan professional serta kita akan nyaman berkeliling ke sudut manapun. Brosur pariwisata melimpah dan gratis, bisa minum gratis dengan air minum di berbagai sudut. Itulah bandara yang konon termasuk salah satu yang terbaik di dunia, termasuk jajaran penerbangan mereka -- Spore Airlines yang beberapa kali kabarnya menyabet gelar penerbangan terbaik dunia.
Hal yang menyita perhatian lainnya adalah mass rapid transport terpadu nan canggih. MRT ini umumnya berupa kereta bawah tanah yang menjangkau hampir semua bagian Negara dari ujung- ke ujung. Dari obrolan dengan warga setempat diketahui bahwa MRT ini sudah beroperasi hampir sepuluh tahun terakhir. Kita begitu dimanjakan dengan adanya MRT ini yang berbiaya murah nan cepat. Keberangkatan kereta hanya dalam hitungan 2 atau 3 menit dimana kita juga dapat berpindah jalur lainnya. Stasiun bawah tanah ini lagi-lagi begitu nyaman, luas dan bersih.
Yang muncul dalam benak kita barangkali siapakah yang merancang MRT terpadu nan canngih ini, kapan dan biayanya berapa besar. Konon saya dengar mantan PM Lee Kuan Yew adalah tokoh dibalik keberhasilan Spore menjadi kota dengan infrastruktur terbaik. PM Lee adalah tokoh pemerintahan, legenda hidup juga seorang alumni dari Harvard University yang disebut sebagai arsitek pembangunan Spore.
MRT bukan satu-satunya urat transportasi, di atas tanah terbentang jalan mulus nan luas dan tersedia berjibun sarana yakni busway maupun private taxi Mercy atau Toyota yang kesemuanya beroperasi dengan lancer, cepat dan jarang mengalami kemacetan jalan. Konon lagi, masayarakat tidak perlu membeli mobil yang pajaknya mahal karena transportasi sudah sedemikian nyaman, cepat dan murah. Dari obrolan dengan seorang sopir private taxi saya dengar bahwa dari ujung barat ke timur jaraknya sekitar 50 km sementara dari utara ke selatan sekitar 40 km-an dan dapat ditempuh rata-rata 40 menit. Ini jarak tempuh di atas jalan, sementara jarak tempuh MRT bawah tanahnya bisa lebih cepat lagi.
Hmm kebersihan baik, ketertiban pejalan kaki bagus ditunjang trotoar nan luas dan juga camera surveillance dimana-mana cukup menjamin keamanan warga setempat. Jarang ditemukan adanya polisi berkeliaran karena berbagai kegiatan warga berjalan tertib dan rapi. Konon bila diketahui kamera atau petugas baik meludah sembarangan, membuang sampah atau menyalakan korek gas akan didenda sekitar 500 sampai 1000 dollar. Hmm memang hukum harus ditegakkan bila menghendaki masyarakat tertib.
Kita setidaknya bisa bercermin dan melihat beginilah potret keteraturan dan keharmonisan masyarakat sebagai warga yang harus dilayani kebutuhan fasilitas umumnya. Sementara di pihak lain pemerintah mengatur sungguh-sungguh, mengelola pajak dengan benar—mengembalikan manfaatnya kepada wajib pajak serta mengutamakan kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
Mengelola
Unknown
23.58
No comments
Minggu siang jam 13.00 WIB ditayangkan di TV 7 siaran langsung motoGP di Circuit Sepang , Malaysia. Melihat gelaran-nya yang begitu akbar dan berkelas internasional, serta nuansa Circuit yang megah, bersih dan canggih, dimana tidak kalah dengan Circuit serupa di berbagai negara menggambarkan betapa Malaysia telah mencapai ambisinya menjadi tuan rumah salah satu olah raga palig bergengsi sejagat. Kita tidak hendak membahasnya namun kita hanya ingin mengambil satu prestasi bahwa negara sekelas Malaysia mampu membangun Circuit yang tentunya membutuhkan biaya triliunan rupiah - dengan mata uang kita. Sekaligus kita juga belum lupa bahwa kita pernah memiliki mimpi yang sama yakni membangun Circuit Sentul dan menjadi tuan rumah lomba otomotif global. Konon biaya untuk membangun Sentul jauh lebih mahal ketimbang Sepang.
Ternyata kita masih terus nakal dan kurang bisa mengelola dana yang notabene uang rakyat. Ibaratnya kita dan Malaysia mendapat mandat dan tugas yang sama, ini ada dana silakan digunakan membangun Circuit olahraga dan targetnya adalah menjadi tuan rumah rutin ajang lomba olahraga dunia. Kita mendapat dana besar dan betul membangun Circuit namun nyatanya sekarang Circuitnya nganggur dan hanya digunakan untuk lomba lokal belaka. Sementara Malaysia berhasil dan sukses membawa berbagai event dunia diadakan di Sepang dan tentunya arus wisata-pun dengan sendirinya ikut terdongkrak.
Sedah terlampau lama kita selalu berargumen untuk membangun ini itu selalu bilang tidak punya cukup uang. Membangun jalan tol katanya tidak punya cukup uang, membangun Irigasi juga sami mawon tidak punya cukup uang. Lha uangnya memang kemana selama ini, apa lenyap ditelan bumi toh. Coba kita lihat, pemungutan pajak jalan terus, penggalian sumber daya alam seperti minyak, batu bara, tambang, hutan dan masih ditambah masuknya hutang luar negeri yang katanya buat ngedongkrak anggaran belanja kita. Dari kesemuanya tadi kira-kira apa hasilnya yang bisa kita realisasikan? Apakah jalan tol kita sudah menjangkau berbagai kota di jawa, sumatera, sulawesi, Kalimantan, papua dan seterusnya, rasanya belum. Apakah kita memiliki banyak Irigasi yang menjangkau sawah-sawah rakyat, ini juga belum. Punyakah kita pabrik-pabrik yang menghasilkan berbagai produk kebutuhan rakyat, pabrik pupuk, pabrik semen, pabrik tekstil, pabrik gula, pabrik padi dan seterusnya, iya memang ada namun lebih banyak yang mulai tutup nampaknya.
Kita mencoba melompat, kenapa negara lain mampu membangun gedung bertingkat yang tingginya 500 meter, stadion olah raga nan megah, jembatan yang hebat, sarana transportasi terpadu canggih nan nyaman dan seterusnya. Tentunya mereka tidak bilang tiudak punya cukup dana, karena ini klise dan membohongi. Yang jelas mereka bisa mengelola sumber daya yang ada dan mengubahnya menjadi produktif demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bagaimana dengan kita, sudahkah kita mengelola sumber daya yang kita miliki dengan baik. Itu stadion bola di Jakarta konon dibangun era Soekarno. Itu monas juga oleh Soekarno. Lha dari merdeka tahun 1945 sampai hari ini nampaknya apakah yang sudah bisa kita wujudkan? Kecuali dengan memiliki katakanlah 60 juta rakyat miskin, hutang yang milyaran dollar, kerusakaan hutan, air dan sumber daya alam lainnya serta prasarana yang jauh dari memadai, kiranya apakah yang sudah kita bangun sebenarnya.
Seharusnya kita sebagai negara dengan modal kekayaan alam besar dapat mengelola dan menjadikan Negara kita makmur dan kaya. Apakah ada yang bilang sumber daya alam kita lebih sedikit dari Jepang? Dari Korea? Dari Australia sekalipun tidak, justru kita lebih banyak kan, namun bagaimana hasil fisik yang kita capai dibandingkan Negara tadi.
Mengelola dan moral yang tulus adalah nampaknya benang merah yang kita perlu berkaca. Kemanakah larinya hutan-hutan yang sekarang gundul, berbagai pulau cantik yang pasirnya digerus, berbagai tambang yang dikeruk negara lain. Kemana larinya pajak triliunan yang dikutip dari jutaan rakyat. Marilah kita semuanya membuka mata bathin kita, ikhlas-kah kita membangun negeri ini. Retorika, lips service dan berbagai keformalan kita selama ini nampaknya tidak membuktikan apapun, kecuali makin menangisnya ibu pertiwi dan makin nelangsanya rakyat kita.
Ternyata kita masih terus nakal dan kurang bisa mengelola dana yang notabene uang rakyat. Ibaratnya kita dan Malaysia mendapat mandat dan tugas yang sama, ini ada dana silakan digunakan membangun Circuit olahraga dan targetnya adalah menjadi tuan rumah rutin ajang lomba olahraga dunia. Kita mendapat dana besar dan betul membangun Circuit namun nyatanya sekarang Circuitnya nganggur dan hanya digunakan untuk lomba lokal belaka. Sementara Malaysia berhasil dan sukses membawa berbagai event dunia diadakan di Sepang dan tentunya arus wisata-pun dengan sendirinya ikut terdongkrak.
Sedah terlampau lama kita selalu berargumen untuk membangun ini itu selalu bilang tidak punya cukup uang. Membangun jalan tol katanya tidak punya cukup uang, membangun Irigasi juga sami mawon tidak punya cukup uang. Lha uangnya memang kemana selama ini, apa lenyap ditelan bumi toh. Coba kita lihat, pemungutan pajak jalan terus, penggalian sumber daya alam seperti minyak, batu bara, tambang, hutan dan masih ditambah masuknya hutang luar negeri yang katanya buat ngedongkrak anggaran belanja kita. Dari kesemuanya tadi kira-kira apa hasilnya yang bisa kita realisasikan? Apakah jalan tol kita sudah menjangkau berbagai kota di jawa, sumatera, sulawesi, Kalimantan, papua dan seterusnya, rasanya belum. Apakah kita memiliki banyak Irigasi yang menjangkau sawah-sawah rakyat, ini juga belum. Punyakah kita pabrik-pabrik yang menghasilkan berbagai produk kebutuhan rakyat, pabrik pupuk, pabrik semen, pabrik tekstil, pabrik gula, pabrik padi dan seterusnya, iya memang ada namun lebih banyak yang mulai tutup nampaknya.
Kita mencoba melompat, kenapa negara lain mampu membangun gedung bertingkat yang tingginya 500 meter, stadion olah raga nan megah, jembatan yang hebat, sarana transportasi terpadu canggih nan nyaman dan seterusnya. Tentunya mereka tidak bilang tiudak punya cukup dana, karena ini klise dan membohongi. Yang jelas mereka bisa mengelola sumber daya yang ada dan mengubahnya menjadi produktif demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bagaimana dengan kita, sudahkah kita mengelola sumber daya yang kita miliki dengan baik. Itu stadion bola di Jakarta konon dibangun era Soekarno. Itu monas juga oleh Soekarno. Lha dari merdeka tahun 1945 sampai hari ini nampaknya apakah yang sudah bisa kita wujudkan? Kecuali dengan memiliki katakanlah 60 juta rakyat miskin, hutang yang milyaran dollar, kerusakaan hutan, air dan sumber daya alam lainnya serta prasarana yang jauh dari memadai, kiranya apakah yang sudah kita bangun sebenarnya.
Seharusnya kita sebagai negara dengan modal kekayaan alam besar dapat mengelola dan menjadikan Negara kita makmur dan kaya. Apakah ada yang bilang sumber daya alam kita lebih sedikit dari Jepang? Dari Korea? Dari Australia sekalipun tidak, justru kita lebih banyak kan, namun bagaimana hasil fisik yang kita capai dibandingkan Negara tadi.
Mengelola dan moral yang tulus adalah nampaknya benang merah yang kita perlu berkaca. Kemanakah larinya hutan-hutan yang sekarang gundul, berbagai pulau cantik yang pasirnya digerus, berbagai tambang yang dikeruk negara lain. Kemana larinya pajak triliunan yang dikutip dari jutaan rakyat. Marilah kita semuanya membuka mata bathin kita, ikhlas-kah kita membangun negeri ini. Retorika, lips service dan berbagai keformalan kita selama ini nampaknya tidak membuktikan apapun, kecuali makin menangisnya ibu pertiwi dan makin nelangsanya rakyat kita.
Doktor
Unknown
23.52
No comments
Seorang dosen yang bergelar doctor konon di negeri ini hanya digaji 2 juta-an, atau setara dengan gaji lulusan STM yang bekerja di industri. Padahal untuk mendapat gelar doctor investasi yang dikeluarkan sangat luar biasa. Waktu, tenaga, biaya dan juga otak. Waktu-nya adalah selepas S1 masih ditambah S2 selama 2 tahun lalu doctor itu sendiri bisa 4 atau 5 tahun lagi atau keseluruhan dapat mencapai 23 atau 24 tahun !! Dan ini hanya sekolah doang. Coba waktu selama itu digunakan untuk mengumpulkan pasir misalnya atau untuk membuat batu bata, maka akan terkumpul berapa ribu atau juta kubik pasir atau jutaan batu bata. Tenaga yang dikeluarkan apalagi, bayangkan 24 tahun sekolah, berapa energi yang dihabiskan. Besarnya biaya apalagi --tidak terkira besarnya mengingat biaya S1 saja sudah mahal. Dan juga otak, karena tanpa otak encer kita tidak bakal bisa lolos S2 dan selanjutnya menyelesaikan S3 tersebut. Namun penghargaan yang diterima? Benar-benar tidak sepadan dan bahkan tidak cukup pantas untuk disebut penghargaan.
Itulah fenomena doctor di Negara republic bbm ini. Sungguh antara usaha, prestasi dan kerja keras sangat tidak seimbang. Kenapa kenyataan ini makin memberatkan orang untuk memiliki niat sekolah sampai jenjang dokor. Bukan semata alasan biaya atau otak encer, namun lebih karena realita bahwa buat apa sekolah tinggi kalau investasi yang dikeluarkan tidak sepadan. Dengan skema apresiasi seperti itu hal ini cukup berdampak pada warna maupun nilai profesi di masyarakat kita. Jarang ada nasehat bijak, bila ingin pintar sekolahlah yang tinggi sampai doctor. Nanti bila sudah pintar bisa bekerja yang menghasilkan uang. Atau bila sudah pintar bisa membuat perusahaan sendiri. Meski kondisi sekarang untuk memulai usaha butuh modal, koneksi dan jaringan juga. Bahkan sering ada anekdot, buat apa sih sekolah sampai jenjang doctor kalau bakal tidak jelas mau bekerja dimana. Perusahaan mana sudi merekrut doctor. Paling banter menjadi dosen tadi yang dijelaskan gajinya kecil atau setara dengan lulusan STM kerja di pabrik.
51 tahun sudah kita merdeka dan berapa orang doctor yang sudah lulus di negeri ini. Adakah 10 ribu saja, rasanya tidak kan. Dari sekitar 250 juta penduduk, atau jauh di bawah seper-ribu persen, coba seper-ribu persen. Ditambah sekarang sekolah sudah bergeser menjadi ajang bisnis yang berbiaya mahal, tentunya makin memustahilkan lagi semangat atau cita-cita orang untuk menyelesaikan jenjang doctor ini. Kuliah negeri saja perlu puluhan juta rupiah untuk sampai lulus. Apapalgi swasta yang umumnya lebih mahal. Jelasnya biaya yang dikeluarkan minimal adalah ratusan juta agar ada tambahan embel-embel doktor. Uang segitu darimana dapetnya, berapa banyak yang mampu dan setelahnya tidak jelas kapan balik modalnya. Memang tidak ada yang nyuruh mengapa hitungannya mesti balik modal. Toh ilmu tidak bisa dinilai dengan uang. Namun kondisi dan realita sekarang ya begitu. Berapa besar investasi, berapa lama balik modalnya serta bagaimana hitungan untungnya.
Ada barangkali perttanyaan menggelitik , kalau ingin mencari ilmu setingginya pan tidak harus menggapai doctor toh, bisa autodidak, bisa membaca, bisa merantau, bisa bertanya , bla bla. Pada konteks ini kita hanya menggaris bawahi bahwa pendidikan adalah proses pemikiran yang lama. Adanya eksistensi sekolah juga merupakan suatu kesepakatan panjang bahwa mencari ilmu yang resmi ya di sekolah. Sekolah akan melahirkan lulusan tertentu, sehingga jenjang akademis merupakan suatu jalur formal dalam system pendidikan kita. Kenapa kita membahas doctor adalah dalam kaitan ini, sehingga tidak semata bahasan mencari ilmu sebanyaknya atau setingginya. Apakah lantas dengan semakin banyak doctor akan menjamin Negara kita semakin maju. Jawabnya memang relative, namun tentunya lebih banyak doctor akan lebih memungkinkan Negara kita membangun dan maju ketimbang sedikit doctor.
Begitulah cerita doctor di Negara kita. Untuk mendapatkannya begitu sulit dan lama namun setelah didapat belum jelas jaminan apresiasinya. Namun kiranya jangan mengurangi semangat kita bila berobsesi paripurna dalam akademisi. Semoga ada bentuk balasan lain selain sekedar apresiasi materi belaka. Karena kita rasa konteks kita juga bukan soal materi, namun lebih dari itu. Konteksnya adalah keadilan dan kepantasan. Bila ternyata cara pandang dan kebijakan kita sudah bergeser maka belum terlambat diluruskan. Hargailah dunia pendidikan.
Itulah fenomena doctor di Negara republic bbm ini. Sungguh antara usaha, prestasi dan kerja keras sangat tidak seimbang. Kenapa kenyataan ini makin memberatkan orang untuk memiliki niat sekolah sampai jenjang dokor. Bukan semata alasan biaya atau otak encer, namun lebih karena realita bahwa buat apa sekolah tinggi kalau investasi yang dikeluarkan tidak sepadan. Dengan skema apresiasi seperti itu hal ini cukup berdampak pada warna maupun nilai profesi di masyarakat kita. Jarang ada nasehat bijak, bila ingin pintar sekolahlah yang tinggi sampai doctor. Nanti bila sudah pintar bisa bekerja yang menghasilkan uang. Atau bila sudah pintar bisa membuat perusahaan sendiri. Meski kondisi sekarang untuk memulai usaha butuh modal, koneksi dan jaringan juga. Bahkan sering ada anekdot, buat apa sih sekolah sampai jenjang doctor kalau bakal tidak jelas mau bekerja dimana. Perusahaan mana sudi merekrut doctor. Paling banter menjadi dosen tadi yang dijelaskan gajinya kecil atau setara dengan lulusan STM kerja di pabrik.
51 tahun sudah kita merdeka dan berapa orang doctor yang sudah lulus di negeri ini. Adakah 10 ribu saja, rasanya tidak kan. Dari sekitar 250 juta penduduk, atau jauh di bawah seper-ribu persen, coba seper-ribu persen. Ditambah sekarang sekolah sudah bergeser menjadi ajang bisnis yang berbiaya mahal, tentunya makin memustahilkan lagi semangat atau cita-cita orang untuk menyelesaikan jenjang doctor ini. Kuliah negeri saja perlu puluhan juta rupiah untuk sampai lulus. Apapalgi swasta yang umumnya lebih mahal. Jelasnya biaya yang dikeluarkan minimal adalah ratusan juta agar ada tambahan embel-embel doktor. Uang segitu darimana dapetnya, berapa banyak yang mampu dan setelahnya tidak jelas kapan balik modalnya. Memang tidak ada yang nyuruh mengapa hitungannya mesti balik modal. Toh ilmu tidak bisa dinilai dengan uang. Namun kondisi dan realita sekarang ya begitu. Berapa besar investasi, berapa lama balik modalnya serta bagaimana hitungan untungnya.
Ada barangkali perttanyaan menggelitik , kalau ingin mencari ilmu setingginya pan tidak harus menggapai doctor toh, bisa autodidak, bisa membaca, bisa merantau, bisa bertanya , bla bla. Pada konteks ini kita hanya menggaris bawahi bahwa pendidikan adalah proses pemikiran yang lama. Adanya eksistensi sekolah juga merupakan suatu kesepakatan panjang bahwa mencari ilmu yang resmi ya di sekolah. Sekolah akan melahirkan lulusan tertentu, sehingga jenjang akademis merupakan suatu jalur formal dalam system pendidikan kita. Kenapa kita membahas doctor adalah dalam kaitan ini, sehingga tidak semata bahasan mencari ilmu sebanyaknya atau setingginya. Apakah lantas dengan semakin banyak doctor akan menjamin Negara kita semakin maju. Jawabnya memang relative, namun tentunya lebih banyak doctor akan lebih memungkinkan Negara kita membangun dan maju ketimbang sedikit doctor.
Begitulah cerita doctor di Negara kita. Untuk mendapatkannya begitu sulit dan lama namun setelah didapat belum jelas jaminan apresiasinya. Namun kiranya jangan mengurangi semangat kita bila berobsesi paripurna dalam akademisi. Semoga ada bentuk balasan lain selain sekedar apresiasi materi belaka. Karena kita rasa konteks kita juga bukan soal materi, namun lebih dari itu. Konteksnya adalah keadilan dan kepantasan. Bila ternyata cara pandang dan kebijakan kita sudah bergeser maka belum terlambat diluruskan. Hargailah dunia pendidikan.
Kendaraan
Unknown
01.13
No comments
Konon penjualan kendaraan roda empat nasional adalah sekitar 300 sampai 500 ribu per tahun. Geliat industri otomotif nasional dimulai sejak tahun 1970-an dan nampaknya mencapai puncaknya sekitar tahun 1995 sampai tahun 2000-an. Bila kita ambil penjualan kendaraan nasional sejak tahun 1980 saja maka selama 25 tahun dengan jumlah kendaraan terjual per tahun 300 ribu maka akumulasinya menjadi 7,5 juta unit. Dan bila panjang kendaraan anggap 4 meter maka dibutuhkan setidaknya jalan sepanjang 30 ribu kilometer atau setara dengan 30 kali panjang pulau jawa. Praktis dengan jumlah kendaraan segitu banyak bila tanpa diimbangi pembangunan panjang jalan akan berdampak semakin macetnya jalanan.
Jakarta, adalah kota dimana kendaraan terkonsentrasi. Pernahkah anda bayangkan bila di depan rumah kita saja sudah macet, sehingga sekedar untuk keluar pagar saja terhalang antrian kendaraan. Tidak percaya, nyatanya ini terjadi di berbagai bagian kota. Sebagai masyarakat kita kadang bertanya kemana saja pajak kendaraan yang jumlahnya triliunan rupiah kok kondisi jalan semakin macet ditambah kondisinya yang semakin rusak.
Ada anomali disini manakala kendaraan dibuat dan dipasarkan sebagai bukti kemajuan jaman dan kemudahan, namun di sisi lain kemacetan yang diciptakan menimbulkan biaya social dan beban emosi masyarakat. Ibaratnya untuk pergi sejauh 5 kilometer naik mobil bahkan kadang lebih lambat ketimbang naik sepeda onthel misalnya.
Kendaraan sebagai salah satu ikon suatu pembangunan serta sarana transportasi yang semestinya menjawab hambatan waktu, jarak, tenaga dan biaya sering mulai bergeser menjadi bagian dari hambatan itu sendiri. Di berbagai sudut jalan selalu berjejal yang namanya kendaraan dan menjadikannya sumber masalah social kita.
Mestinya ada yang harus diluruskan di sini bahwa pembangunan memang haruslah seimbang dan sejalan. Percuma menjual 400 ribu kendaraan per tahun bila sarana jalan terbengkelai. Alih-alih menikmati kemudahan berkendara justru timbul masalah dengan transportasi kita. Banyak pakar mengatakan bahwa sebaiknya dikembanagkan mass rapid transport semacam subway, busway atau monorail. Hal ini yang dilakukan di Negara lain ketika jumlah kendaraan pribadi semakin banyak dan jalanan tidak lagi dapat menampung jumlah kendaraan.
Namun bila pembangunan mass rapid transport baru dilakukan sekarang dan itupun berjalan begitu lambat masyarakat luaslah yang menderita dan membayar social cost sangat mahal. Semestinya pembangunan itu dilakukan 5 atau 10 tahun silam dan hari ini sudah menjadi bagian terpadu dari system transportasi kita. Kenyataanya itulah yang terjadi, kemacetan semakin parah ditambah project mass rapid yang menyita waktu, bagian badan jalan serta lambannya project yang mestinya menjadi super project yang dikebut 24 jam sehari 7 hari seminggu.
Nasi menjadi bubur dan kendaraan telah menjadikan kita begitu lelah dan terbebani setiap harinya. Seolah tak pernah ada titik terang dan gambaran akan nyamannya berkendara di Jakarta ini maupun di kota-kota lainnya yang rata-rata menghadapi masalah baik prasarana jalan yang rusak parah maupun perimbangan jumlah kendaraan dan kapasitas jalan yang ada. Belum ditambah dengan perilaku pengguna jalan kita yang seenaknya sendiri maupun jarang yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Jakarta, adalah kota dimana kendaraan terkonsentrasi. Pernahkah anda bayangkan bila di depan rumah kita saja sudah macet, sehingga sekedar untuk keluar pagar saja terhalang antrian kendaraan. Tidak percaya, nyatanya ini terjadi di berbagai bagian kota. Sebagai masyarakat kita kadang bertanya kemana saja pajak kendaraan yang jumlahnya triliunan rupiah kok kondisi jalan semakin macet ditambah kondisinya yang semakin rusak.
Ada anomali disini manakala kendaraan dibuat dan dipasarkan sebagai bukti kemajuan jaman dan kemudahan, namun di sisi lain kemacetan yang diciptakan menimbulkan biaya social dan beban emosi masyarakat. Ibaratnya untuk pergi sejauh 5 kilometer naik mobil bahkan kadang lebih lambat ketimbang naik sepeda onthel misalnya.
Kendaraan sebagai salah satu ikon suatu pembangunan serta sarana transportasi yang semestinya menjawab hambatan waktu, jarak, tenaga dan biaya sering mulai bergeser menjadi bagian dari hambatan itu sendiri. Di berbagai sudut jalan selalu berjejal yang namanya kendaraan dan menjadikannya sumber masalah social kita.
Mestinya ada yang harus diluruskan di sini bahwa pembangunan memang haruslah seimbang dan sejalan. Percuma menjual 400 ribu kendaraan per tahun bila sarana jalan terbengkelai. Alih-alih menikmati kemudahan berkendara justru timbul masalah dengan transportasi kita. Banyak pakar mengatakan bahwa sebaiknya dikembanagkan mass rapid transport semacam subway, busway atau monorail. Hal ini yang dilakukan di Negara lain ketika jumlah kendaraan pribadi semakin banyak dan jalanan tidak lagi dapat menampung jumlah kendaraan.
Namun bila pembangunan mass rapid transport baru dilakukan sekarang dan itupun berjalan begitu lambat masyarakat luaslah yang menderita dan membayar social cost sangat mahal. Semestinya pembangunan itu dilakukan 5 atau 10 tahun silam dan hari ini sudah menjadi bagian terpadu dari system transportasi kita. Kenyataanya itulah yang terjadi, kemacetan semakin parah ditambah project mass rapid yang menyita waktu, bagian badan jalan serta lambannya project yang mestinya menjadi super project yang dikebut 24 jam sehari 7 hari seminggu.
Nasi menjadi bubur dan kendaraan telah menjadikan kita begitu lelah dan terbebani setiap harinya. Seolah tak pernah ada titik terang dan gambaran akan nyamannya berkendara di Jakarta ini maupun di kota-kota lainnya yang rata-rata menghadapi masalah baik prasarana jalan yang rusak parah maupun perimbangan jumlah kendaraan dan kapasitas jalan yang ada. Belum ditambah dengan perilaku pengguna jalan kita yang seenaknya sendiri maupun jarang yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.